Kehilangan
Pagi hari ini saya sudah
melangkahkan kaki setelah turun dari roda empat di Jalan Haji Naman, Pondok
Kelapa, Jakarta. Kuamati bangunan sejauh mata memandang sangat jauh berbeda 28
tahun yang lalu. Anganku mengingat tahun 1993 ketika aku tinggal di situ dua
tahunan. Waktu itu aku setiap tengah malam antara jam 11 – 12 aku pulang kerja.
Turun dari angkot yang melalui pinggir kalimalang,
aku jalan sendirian menyusuri jalan perumahan Pemda DKI dilanjut melewati
pekarangan luas dengan pepohonan rambutan, kecapi, dan pisang dengan ditumbuhi
tanaman semak belukar. Kini pekarangan tanah merah berdiri rumah yang gedongan
diselingi rumah penduduk nan rapat.
Waktu itu saya kesulitan tempat tinggal. Aku sedang kuliah tetapi harus sambil bekerja. Aku termasuk keluarga yang ekonomi minus tapi ingin kuliah. Paman dari pihak bapakku ini yang perhatian menawarkan tinggal bersama keluarganya. Aku memang sangat butuh tempat berteduh untuk istirahat malam. Kalau aku kos atau kontrak secara ekonomis belum mampu. Hingga tawaran pamanku aku terima. Sampai siang kuliah dilanjut sore sampai malam bekerja part time di restauran.
Waktu yang cukup untuk mengenal
keluarga paman dari dekat. Setelah dua tahun tinggal bersamanya istri paman
meninggal. Beliau meninggalkan 5 anak yang masih kecil-kecil dengan sang putra
sulungnya masih kelas 2 SMP dan putra bungsunya 3 tahun. Atas takdir ini,
kelima anaknya diasuh Enyak dan Engkongnya yang tinggalnya setengah kilometer
dari rumah paman. Atas kenyataan ini tak berapa lama kakak perempuanku nikah,
dan aku diajak tinggal bersamanya di Bekasi supaya tak merepotkan paman.
Sejauh kakiku melangkah sekitar
seratus meter anganku terhenti ketika masuk gang. Aku harus sampai di rumah
paman untuk bertemu terakhir kalinya. Bendera kuning tertancap di tembok rumah
ketika masuk gang. Semalam aku mendapat berita duka kepergian keluarga bapakku
yang tinggal satu-satunya, yaitu paman. Salam
kuucapkan sesampai di pintu rumah, anak-anaknya satu per satu memelukku dengan
isakkan tangis. Aku berusaha menenangkan supaya ikhlas dan sabar akan takdir
yang sudah dituliskan Allah SWT.
Dari cerita istri sekarang dan
anak-anaknya, aku mendapat cerita paman tidak sakit. Memang punya penyakit
darah tinggi, tapi sebelum meninggal dalam kondisi sehat. Setelah salat Asar
merasa kedinginan ambil selimut dan tidur tetapi selamanya dengan nafas telah
tiada. Hatiku merasa sejuk akan mudahnya paman dalam meninggal dunia tanpa
merepotkan orang terdekatnya. Aku mendoakan di depan jenazah beliau setelah
kubacakan Surat Yasin mengiringi kepergian beliau.
Hatiku lebih sejuk lagi melihat
kelima anaknya saling membacakan ayat Al Quran di depan jenazah ayahnya. Aku
melihatnya sangat rukun untuk mengurusi kepergian ayahnya. Ilmu agama yang
diperoleh anak-anaknya diterapkan untuk menghadapi kematian paman. Setahuku
beliau ahli ibadah, orangnya tak banyak omong, dan rajin menyambung
silatirahim.
Semasa hidupnya, sering sekali
mengunjungi keponakannya, saudara, bahkan mertua anak-anaknya. Paman tidak
mengenal prinsip yang tua harus didatangi yang muda. Paman justru sebagai orang
tua yang sering berkunjung ke rumahku. Beliau berprinsip niat silaturahim siapa
yang punya waktu luang, itulah yang punya kesempatan. Kunjungan ke rumahku
sering dengan waktu yang tak tentu, kadang sebulan sekali, dua bulan atau enam
bulan sekali. Kalau punya keinginan berkunjung, ya terus berangkat.
Ketika jenazah mau disalatkan, sang ustad memberikan ceramah bahwa pamanku orang tak banyak omong, datang salat ke masjid lebih awal sebelum azan, terutama Subuh sering membuka pintu masjid dan berzikir. Mendengar ceramah ini aku banyak belajar dari paman. Yang ikut salat jenazah dan mengantar ke makan puji syukur banyak. Melihat kenyataan itu aku berdoa kembali semoga mendapat tempat yang layak di sisi Allah. Bertepatan dengan Isra Miraj, 10 Maret 2021 aku mendapatkan pelajaran pamanku yang dikenal baik. Sungguh semakin sejuk hatiku mengiringi kepergian pamanku dari dunia.
Selamat jalan, Pamanku. Innalillahi wainnalillahi rojiun. Semoga khusnul khotimah diterima amal ibadahnya dan ditempatkan di surganya Allah SWT.
Inna lillaahi wainna ilaihi raajiuun. Penutup yg menghanyutkan
ReplyDeleteTrims. Ya, Pak kehilangan salah satu orang tua yang pernah memapah jalan kesuksesan hidupku.
DeleteInnalillahi Wa Innaa Ilaihi Roji'un
ReplyDeleteKisah kebaikan yang menjadi inspirasi kehidupan bagi kita semua.
Semoga husnul khotimah
Ya, Bu. Selalu ingat akan kebaikan orang terdekat kita agar bisa balas kebaikannya sesuai kemampuan yang kita miliki.
ReplyDelete