Sunday, March 14, 2021

Indonesia Banget

     Sudah hal yang biasa ketika kita menawarkan buku kepada teman sering banyak pertimbangan. Pertanyaan yang paling awal pasti menanyakan harganya. Jarang yang tanpa berpikir panjang mengatakan langsung saya beli. Apalagi kalau bukunya karya kita yang merupakan penulis sedang belajar, jauh dari terkenal.  Masih ada beberapa teman yang disuguhkan tawaran buku karya kita berusaha buka, mengamati, bila cocok dengan genre tulisannya mereka mencoba beli. Namun kebanyakan tidak tertarik dengan buku, apalagi di mbah google kita dapat mencari sesuatu yang kita ingin tahu, katanya.
     Itulah masyarakat kita, Indonesia banget. Murah adalah tumpuan kita saat berbelanja. Begitu pula terhadap buku sebagai karya kita dalam menulis. Karakter masyarakat kita ini sebagai kerikil kecil yang dapat menganjal jalan kita dalam menulis. Tapi kerikil ini tak usah kau pikirkan, tinggal singkirkan dengan kakimu, atau ambil buang saja. Ambil sebagai kritik yang membangun untuk perbaikan tulisan kita, itulah kerikil yang menjadi perhatian kita. 
        Jika orang Indonesia ditawarkan buku 100 ribu, maka akan mengatakan mahal. Tetapi jika mereka mengeluarkan uang untuk membayar makan dan minum di cafe bisa mencapai 200 ribu akan mengatakan murah. Indonesia banget orang kita bahwasannya urusan perut adalah nomor satu, jadi walaupun mahal bisa menyatakan berdasarkan sudut pandangnya murah. Suatu hal yang biasa jika karya tulisan di Indonesia masih dipandang sebelah mata. Penghargaan terhadap proses, gagasan, wujud karya sastra masih belum mendapat tempat yang mendalam pada masyarakat umum.
        Kita sebagai penulis pemula pasti akan mengalami hal yang diceritakan di atas. Tetapi perlu kita ketahui menulis tidak selalu harus mendapat pengakuan dari orang lain. Menulis dapat menjadi obat saat kita butuh menuangkan ide, bisa juga keinginan  atau keluh kesah yang ada dalam diri kita. Aku saja menulis sebagai bagian belajar supaya menuangkan apa yang kuamati dan kupelajari sekitar kehidupan. Aku menulis dengan pedoman diriku harus belajar sepanjang hayatku. Ternyata lingkungan sekitar kita sebagai labotarorium yang dapat memberikan eksperimen yang dapat ditulis.
        Kritikan yang kadang menurunkan mood kita dalam menulis juga akan datang dari teman kita. Bahkan aku pernah mengirim link blog untuk kepada teman-teman grup guru satu mata pelajaran hanya dua urang yang memberi umpan balik. Jangankan masyarakat umum, kalangan teman kita sebagai guru pun masih ada yang enggan untuk membaca buku apa saja genrenya. Itu sudah hal yang biasa. Apalagi yang kita sosorkan buku, kadang ada teman kita yang mengharapkan gratisan.  Hal seperti ini akan kita alami, harus dianggap sebagai hal lumrah orang kita, Indonesia banget.
      Memang betul menulis yang dilakukan seseeorang berbeda-beda motivasinya. Karena itu kuatkanlah motivasi yang kita miliki. Usahakan motivasi yang teguh datangnya dari intern diri seseorang. Paling sederhana kita mencari tempat yang bisa mendukung motivasi kita dalam menulis. Untungnya kita dalam grup yang didalamnya terdapat orang-orang yang mau belajar dan mampu menulis. Itulah salah satu jalan yang mampu menguatkan motivasi kita. Betul dalam hadits kalau kita bergaul dengan penjual minyak wangi kita akan ikut wangi, sedangkan kalau kita bergaul dengan penjual ikan tentu kita akan ukut bau amisnya.
        Kita bisa melihat contoh lain yang makin menguatkan motivasi kita. Ada pedagang keliling kerajinan tikar dari mendong menjajakan karyanya di sekitar tempat tinggalku. Ketika ibu-ibu berkerumun mereka saling mencoba menawar terhadap harga tikar mendong. Ibu-ibu tidak memikirkan bagaimana cara mencari mendong, bagaimana memproses rumput menjadi bahan baku, bagaimana proses menganyam, berapa lama pembuatan, bagaimana sang penjual berjuang keras memasarkan, dan lain-lain. Ibu-ibu hanya memikirkan bisa membeli tikar mendong dengan harga murah. Tetapi ketika beli tikar dengan bahan spon atau plastik di swalayan, ibu-ibu langsung bayar ke kasir tanpa memikirkan murah apa mahal.  Padahal bahannya aman atau tidak bagi tubuh kita dan tak ramah terhadap lingkungan kita ada dalam pikiran mereka.
        Itulah masyarakat kita, Indonesia banget. Murah adalah tumpuan kita saat berbelanja. Begitu pula terhadap dagangan buku sebagai karya kita dalam menulis. Karakter masyarakat kita ini sebagai kerikil kecil yang dapat menganjal jalan kita dalam menulis. Tapi kerikil ini tak usah kau pikirkan, tinggal singkirkan dengan kakimu, atau ambil buang saja. Ambil sebagai kritik yang membangun untuk perbaikan tulisan kita, itulah kerikil yang menjadi perhatian kita.

6 comments:

  1. Paragraf teeakhir sangat bagus utk refleksi kita.

    ReplyDelete
  2. Betul, Pak. Walau kerikil tetap harus menjadi perhatian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul,Pak. Walaupun kerikil tetap harus menjadi perhatian penulis

      Delete
  3. Betul, Pak. Walaupun kerikil tetap jadi perhatian penulis

    ReplyDelete
  4. Justru kerikil yg bisa menjatuhkan...
    Kesandung kan berarti batunya kecil...
    Kalau besar bukan kesandung tapi nubruk nggih...
    Tulisan yg bagus... Nyata

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, Bu. Terima kasih diingatkan mudah2 jangan kerakal (batu besar) bisa jatuh.

      Delete